Kekurangan Tenaga Ahli, Baleg DPR Sulit Penuhi Target
Badan Legislasi DPR RI mengaku mengalami kesulitan untuk menuntaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU, disebabkan kekurangan tenaga ahli terutama di bidang hukum dan perundang-undangan.
Hal tersebut akhirnya berdampak, banyak RUU yang mestinya dibahas mengalami keterlambatan dan berakibat target Baleg setiap tahun tidak tercapai, bahkan berkurang.
“Baleg itu ibarat orang buta kehilangan tongkat, sehingga sulit untuk berjalan. Kami ini banyak kekurangan tenaga ahli, sehingga banyak RUU yang mau dibahas terlambat. Padahal dari mitra kerja (pemerintah0 sebetulnya punya banyak ahli, tapi tidak memperbantukan kepada kami,” kata Ketua Baleg DPR RI Ignatius Mulyono didampingi Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri pada diskusi mengenai Prolegnas DPR RI, di Gedung DPR RI, Selasa (5/2)
Persoalan lain RUU menjadi UU lanjut Mulyono adalah sikap ego sentris pihak pemerintah, seperti RUU illegal logging. Padahal dari DPR meminta agar badan pengawas berada independen, tetapi dari Kementerian Kehutanan meminta badan itu di bawah kementeriannya.
"Jika ini dikabulkan badan pengawasnya di bawah Kemenhut, sama saja nantinya pemberantasan ilegal logging tidak jalan. Masalah ini saja, sampai sekarang tidak selesai-selesai dari sembilan bulan lalu. Padahal pembahasannya hanya satu pasal saja,’’ terangnya.
Sementara itu, Ronald mengatakan bahwa demi tercapainya kualitas dan kuantitas UU yang dihasilkan, DPR RI membutuhkan Pusat Studi Legislasi (Pusleg) untuk mendongkrak UU sesuai keperluan. Dengan adanya Pusleg kata dia diharapkan produk UU yang dihasilkan bukan saja kuantitas, tapi juga berkualitas baik dan berpihak kepada rakyat, sehingga tidak perlu dilakukan judicial review.
"Pusleg itu diharapkan mampu menginventarisir seluruh produk perundang-undangan sejak tahun 1945 sampai sekarang dengan baik. Pusat studi ini harus kuat dan diisi oleh orang-orang yang kuat, ahli, kapabel, dan berintegritas. Kalau itu terwujud, maka dalam pembahasan UU, Badan legislasi (Baleg) DPR RI tidak perlu petunjuk, atau tongkat lagi dalam pembahasan,’’ ungkapnya.
Menurut Ronald, seharusnya pembahasan UU itu seluruh kajiannya bisa dilakukan pada tahun pertama bertugas di DPR, sedangkan pembahasan perdebatannya di tahun kedua, ketiga, dan seterusnya. Selama pemerintah dan DPR RI tidak merubah mekanisme kerja Prolegnas, maka alasannya selalu sama seperti sebelumnya ketika gagal mencapai target perundang-undangan. Yaitu, terjebak pada situasi tak terpenuhinya Prolegnas, sehingga Prolegnas kita sebatas judul-judul saja. ‘’Itulah yang harus dibongkar; adanya studi banding, anggaran, dan sebagainya,” tegasnya.
Padahal tambah Ronald, target prolegnas itu bisa dicapai kalau unsur-unsurnya terpenuhi. Yaitu struktur organisasi, jadwal kerja, dan pasangan kerja. Namun, meski latarbelakang anggota DPR RI memang seluruhnya bukan cendekiawan, dan tidak didesign untuk memproduksi UU, yang penting ada keberpihakan kepada rakyat, bangsa, dan negara. "Yang penting dari DPR itu ada keberpihakan pada rakyat. Itu konsekuensi sebagai wakil rakyat. Pada prinsipnya, perlu pembenahan dari hulu ke hilir,” tegasnya. (sc)